Warta Bandung Barat
Pendapatan premi industri asuransi jiwa tumbuh positif. Produk asuransi jiwa tradisional masih mendominasi. Sejalan dengan permintaan nasabah yang menginginkan kepastian.
“Sepanjang Januari hingga Maret 2025, pendapatan premi industri meningkat sebesar 3,2 persen secara tahunan menjadi Rp 47,45 triliun. Hasil ini merupakan awalan yang baik bagi industri asuransi jiwa untuk menatap 2025 dengan lebih optimis,” ujar Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon dalam laporan kinerja di rumah AAJI, Rabu (4/6).
Peningkatan total pendapatan premi didorong pertumbuhan premi lanjutan yang mencapai Rp 20,94 triliun, naik 8,2 persen
year-on-year
(YoY). Dari sisi produk, asuransi jiwa tradisional (
endowment
) masih mendominasi pasar dengan proporsi 65,2 persen dari total premi. Mencatatkan pertumbuhan sebesar 15,6 persen YoY menjadi Rp 30,95 triliun.
Realisasi tersebut mencerminkan permintaan pasar atau nasabah. Terutama sejak terbitnya Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 5/SEOJK.05/2022 tentang produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) atau unit
link
pada 14 Maret 2022. Perusahaan asuransi jiwa harus bersiap-siap secara infrastruktur teknologi informasi (IT).
“Sambil menunggu itu, proses bisnis harus terus berjalan. Tenaga pemasar harus tetap berjualan. Nah momentum ini membuat mereka untuk jualan produk tradisional,” ungkap Direktur Utama PT Asuransi Jiwa IFG (IFG Life) tersebut.
Kalau AAJI menginginkan atau ada arahan supaya tenaga pemasar kembali menjual unitlink, maka perlu melakukan pelatihan ulang. Termasuk memasarkan produk asuransi kesehatan co-payment seperti yang tertuang dalam SEOJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang penyelenggaraan produk asuransi kesehatan.
“Yang harus kami pikirkan selain sistem IT adalah melatih ulang tenaga pemasar industri asuransi jiwa yang selama ini sudah terbiasa dengan memasarkan produk asuransi kesehatan sebelum SEOJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang penyelenggaraan produk asuransi kesehatan yang baru ini. Selain itu
back office
supaya tahu dan sosialisasi terhadap nasabah,” beber Budi.
Menurut dia, tenaga pemasar asuransi jiwa saat ini sudah terbiasa dengan produk tradisional. “Kemudian permintaan pasar dalam kondisi ekonomi saat ini mungkin lebih prefer dengan sesuatu yang sifatnya tradisional dan guaranteed,” imbuh Budi Tampubolon.
Hingga akhir Maret 2025, jumlah total tertanggung perorangan tercatat sebanyak 21,97 juta orang. Meningkat 11,6 persen secara tahunan. Sementara itu, tertanggung kumpulan bertambah menjadi 75,89 juta orang, naik 22,2 persen YoY. Kenaikan tersebut didukung oleh peningkatan indeks literasi dan inklusi asuransi yang masing-masing mencapai 45,45 persen dan 28,5 persen.
Meski demikian, Budi mengingatkan bahwa tekanan global masih menjadi tantangan utama bagi industri. Gejolak ekonomi global tetap menjadi tantangan, terutama akibat volatilitas pasar modal dan nilai tukar. Namun, industri asuransi jiwa memiliki landasan yang kuat dan strategi jangka panjang yang adaptif.
“Kami yakin, dengan pengelolaan risiko yang disiplin dan komitmen terhadap perlindungan nasabah, industri ini akan mampu menjaga stabilitas dan terus tumbuh secara berkelanjutan,” tandas Budi Tampubolon.
Kepala Departemen Komunikasi AAJI Karin Zulkarnaen menuturkan, sepanjang Januari hingga Maret 2025, total klaim dan manfaat yang dibayarkan industri mencapai Rp 38,16 triliun kepada 3,74 juta orang. Angka ini menurun 11,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Terutama disebabkan oleh turunnya klaim partial withdrawal dan surrender, yang masing-masing mencatatkan nilai Rp 3,72 triliun dan Rp 19,20 triliun.
“Penurunan ini juga mencerminkan adanya kestabilan yang mulai terbentuk dalam perilaku nasabah,” ujar Karin.
Untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir, klaim asuransi kesehatan mengalami penurunan 2,2 persen dengan total nilai klaim Rp 5,83 triliun. Meskipun menurun, AAJI tetap melakukan pemantauan ketat terhadap perkembangan angka klaim kesehatan ke depan.
Karin berharap reformasi sistem kesehatan melalui kolaborasi lintas sektor dapat membantu mengendalikan inflasi biaya kesehatan. Implementasi SEOJK produk asuransi kesehatan diharapkan menjadi tonggak penting dalam menciptakan ekosistem asuransi kesehatan yang lebih baik dan berkelanjutan. Sambil tetap memberikan perlindungan optimal kepada masyarakat.
Regulasi ini mulai berlaku efektif pada 1 Januari 2026 dan seluruh perusahaan asuransi diwajibkan menyesuaikan produknya paling lambat pada 31 Desember 2026. Karin menilai, regulasi tersebut memperkenalkan ketentuan
co-payment
. Yaitu sebagian biaya yang perlu ditanggung oleh nasabah sebagai pasien saat menjalani perawatan kesehatan sebesar 10 persen dari total biaya pengobatan.
Dalam menangani tingginya inflasi medis, kolaborasi dari semua pihak sangat penting, termasuk dari sisi nasabah. Diharapkan nasabah bisa lebih kritis dan bijak dalam menentukan jenis perawatan yang benar-benar dibutuhkan.
“Skema serupa juga telah diterapkan di banyak negara, baik di negara maju maupun negara-negara di kawasan Asia,” jelas Karin Zulkarnaen.